Senin, 29 Desember 2008

an nasai

Sunan An-Nasa’i

A. Nama, kelahiran dan wafat.
Nama lengkapnya: Abu Abdurrahman Ahmad bin Syuaib bin Ali bin Sinan bin Bahr Al-Khurasani An-Nasa’i. lahir didaerah Nasa’I pada tahun 215 H. Nama Imam An-Nasa’I dinisbatkan pada nama sebuah daerah bernama Nasa’ diwilayah Khurasan yang di sebut juga dengan Nasawi disebut dalam Mu’ja, Al-Buldan bahwa daerah tersebut dinamakan Nasa’ bermula dari kisah perjalanan kaum muslimin dalam menyebarkan agama Islam
Pada waktu itu kaum muslimin telah berhasil memasuki kurasan. Ketika mereka hendak melanjutkan misi mereka memasuki daerah berikutnya, maka kamum lelaki penduduk setempat yang telah mendengar kedatangan kaum muslimin dalam jumlah besar berlari menyelamatkan diri meninggalkan daerah tersebut sehingga penduduk yang tersisa hanya kamum perempuan
Tatkala kamum muslimin sampai daerah itu dan mereka hanya menjumpai kaum perempuan tanpa ada kaum laki, maka sebagian kaum muslimin berkata.”mereka semua adalah An-Nisaa (kaum perempuan) dan kaum perempaun tidak boleh diperangi.
Pleh sebab itu. Maka biarkanlah mereka sampai suamai mereka kembali lagi.” Akhirnya, kaum muslimin pun berlalau meninggalkan daerah tersebut dan menamakan daerah itu Nasa’ yang artinya kaum perempuan. Namun menurut istilah bahasa yang benar, nama Nasa’, tapu Nisa’I atau Niswa
Beliau wafat pada hari Senen, tanggal 13 Bulan Syafar, tahun 303 H. (915 M) di al-Ramlah. Setahun sebelum ia meninggal dunia, ia pindah dari Mesir ke Damaskus. Di kota inilah beliau menulis kitab al-Khasa’is Ali bin Abi Talib (Keistimewaan Ali bin Abi Talib) yang di dalamnya menjelaskan tentang keutamaan dan keistimewaan Ali bin Abi Thalib menurut hadis. Ia menulis kitab ini, agar penduduk Damaskus tidak lagi membenci dan mencaci Ali. Ketika ia membacakan hadis-hadis tentang keutamaan Ali tersebut di hadapan orang banyak, beliau diminta pula untuk menjelaskan keutamaan Mu’awiyah bin Abi Syofyan. Akan tetapi ia dengan tegas menjawab bahwa ia tidak mengetahui adanya hadis yang menyebut keutamaan Mu’awiyah. Oleh pendukung Bani Umayyah ia dianggap berpihak kepada golongan Ali bin Abi Talib dan menghina Mu’awiyah, karena itu ia dianiaya dan dipukuli oleh pendukung Bani Umayyah. Ada yang menyebutkan, bahwa dalam kepayahan dan keadaan sekarat akibat penganiayaan tersebut, ia dibawa ke negeri Ramlah-Palestina dan meninggal di sana lalu dikuburkan di Damaskus. Namun menurut versi yang lain dan inilah yang paling banyak dianut orang bahwa beliau dibawa ke Mekkah, kemudian dikuburkan di antara Safa dan Marwa di Mekkah. Ia meninggal pada Tahun 303 H. atau 915 M. dalam usia 85 atau 88 tahun.

B. sifat-sifatnya
Adz-Dzahabi berkata. Dia bermuka tampan biarpun sudah memasuki usia senja, sering mengenakan baju musim dingin, mempunyai empat istri dan senang memakan daging ayam. Dia adalah seorang syiakh yang berwibawa, bermuka cerah, ringan tangan dan berbudi luhur.” Sebagian muridnya berkata.”Abu Abdirrahman meminim perasaan anggur untuk mencerahkan mukanya
Ia juga dikenal sebagai orang yang sungguh-sungguh dalam beribadah baik pada waktu malam maupun siang hari, melaksanakan ibadah puasa sunat dan puasa dawud dengan satu hari puasa dan tidak berpuasa pada hari berikutnya secara berselang seling terus menerus, serta melakukan haji secara kontinyu setiap tahunnya. Begitu juga dalam berjihad (perang), juga selalu beliau ikuti bersama-sama dengan umat Islam. Ketika terjadi peperangan di Mesir, beliau turut serta dalam membela agama Islam dan sunnah Nabi bersama-sama dengan Gubernur Mesir dengan mencurahkan segala daya intelektualnya dan keberaniannya. Dalam suasana peperangan tersebut, beliau masih sempat meluangkan waktu untuk mengajarkan hadis Nabi SAW kepada Gubernur dan para prajurit. Dengan modal keberanian dan keteguhan hati beliau inilah, beliau berhasil menjadi ulama yang “besar”, dengan tetap selalu menyebarkan ilmu dan pengetahuan pada masyarakat.

C. Guru dan murid-muridnya
Guru-gurunya: ibn As-Subki berkata guru imam an-Nasa’I antara lain; Qutaibah bin Said Rahawih, hisyam bin Ammar, Isa bin Muhammad bin Nashr Al-Marwazi, Suwaid bin Nashr, Abu Kuraib, A’la. Disamping mereka ini, masih banyak yang lain, baik mereka yang di Khurasan, Irak, Syam, Mesir, Hijaz dan Jazirah.
Murid-muridnya: Al-Hafizh berkata, “orang yang meriwayatkan dari an-Nasa’I antara lain; seorang anaknay bernama Abdul Karim, Abu Bakar Ahmad bin Muhammad bin Ishaq As-Sunni, Abul Hasan bin Al-Khodhr Al-Asyuthi, Al-Hasan bin Rusyaiq Al-Askari, Abul Qasim Hamzah bin Muhammad bin Ali Al-Kannani Al-Hafizh, Abul Hasan Muhammad bin Abdillah bin Zakaria bin Hayawaih, Muhammad bin Muawiyah bin Al-Ahmar, Muhammad bin Qasim Al-Andalusi, Ali bin Abi Ja’far Ath-Thahawi dan Abu Bakar Ahmad bin Muhammad Al-Muhadis. Mereka adalah perawi sunan An-Nasa’i
Termasik murid Imam An-Nasa’I adalah Abu Basyar Ad-Dulabi (teman Imam An-Nasa’i), Abu Awwanah, Abu Ja’far Ath-Thahawi, Abu Bakar bin Al-Haddad Al-Faqih, Abu Ja’far Al-Uqaili, Abu Alo bin Harun, Abu ali An-Naisaburi Al-Hafizh dan masih banyak yang lain.
D. Pengakuan Ulama Hadis atas kapasitas Keilmuanya
Abu Abdillah Al-Hakim Al-Hafizh. “aku telah mendengar Abu Ali Al-Husain bin Ali Al-Hafizh berkata. ‘Imam An-Nasa’I adalah Imam kaum muslimin dan imam dalam bidang hadits.
Al-Hakim juga berkata, ‘Abu Ali memberitahukan kepada kami, ia berkata, “Abu Abdirrahman An-Nasa’I merupakan imam dalam bidang hadits tanpa diragukan lagi.
Dalam kesempatan yang lain, Abu Ali berkata, ”Aku telah melihat dinegriku dan dalam perjalanan kehidupanku terdapat empat orang imam dalam bidang hadits. Dua orang di Naisabur, yaitu Muhaammad bin Ishaq dan Abdorrahman An-Nasa’I di Mesir dan Abdan di Ahwaz.
Abu Abdillah Al-Hakim Al-Hafizh berkata, aku telah mendengar Ja’far bin Muhammad bin Al-Harits berkata. ‘ aku telah mendengar makmun Al-Mashri Al-Hafizh berkata, “kami telah keluar bersama Abu Abdirrahman An-Nasa’I ke daerah Thursus pada tahun Al-Fida (tebusan) ri Tursus itu berkumpul para ulama huffazh semisal Abdullah bin Ahmad bin Hambal, Muhammad bin Ibrahim Murabba, Abu Adzan dan Kailah unutk menetukan siapakah yang berhak menjadi wakil mereka. Dengan pemeilihan menulis nama, akhirnya mereka sepakat memilih Abu Abdirrahman An-Nasa’i
Ibn Artsir berkata, Imam An-Nasa’I mengikuti madzhab Syafi’I. oleh karena itu, dia mempunyai karya kitab Manasik’ala Madzdhab Asy-Syafi’i. dia juga seorang yang wira’I, sanggat hati-hati dan selektif
Al-Qasim al-Mutarrir berkata bahwa Imam al-Nasa’i adalah seorang Imam atau dapat juga dikatakan bahwa beliau berhak untuk dianggap sebagai seorang imam dalam bidang ilmunya.
Al-Hafiz Abu Sa’id bin Yunus berkata bahwa Imam al-Nasa’i adalah seorang ulama yang telah diakui keilmuannya, ke-siqah-annya dan kekuatan hafalannya.
Al-Khalili berkata bahwa al-Nasa’i adalah seorang yang hafiz mutqinun, telah diakui kekuatan hafalannya dan kepintarannya, dan pendapatnya sangat diandalkan dalam ilmu jarah dan ta’dil.
Al-Zahabi: al-Nasa’i adalah ulama yang padanya terkumpul lautan ilmu, disertai pemahaman dan kepintaran, dan sangat kritis terhadap seorang rawi serta mempunyai karangan yang sangat baik, dan banyak berdatangan para hafiz kepadanya. Selanjutnya beliau mengatakan juga bahwa tidak ada di antara tiga ratus orang yang lebih hafal selain dari an-Nasa`i karena dia merupakan orang yang paling tajam pengetahuannya dalam bidang hadis, paling tahu mengenai cacat hadis dan rawi yang meriwayatkannya jika dibandingkan dengan Muslim, Abu Dawud, Abu ‘Isa, serta dia merupakan penolong bagi kesamaran dan ketidakjelasan yang ada pada al-Bukhari dan Abi Zur’ah.
E. Karya-karyanya
· Al-Khasaha’ish
Ibn Hinzabah Al-Wazir berkata, “akutalh mendengar Muhammad bin Musa Al-Makmuni, sahabat Imam An-Nasa’I berkata,” aku telah mendengar ada sekelompok irang yang tidak percaya apa bila Imam An-Nasa’I mempunyai karya Al-Khasha’ish yang memuat kelebohan-kelebihan Ali bin Abi Thalib. Permasalahan yang di ingkari Imam An-Nasa’I dalam hal ini adalah menulis hadis tentang keutamaan-keutamaan yang dimiliki Muawiyah atas Ali bin Abu Thalib. Padalah, tidak dapat disangkal lagi bahwa Ali adalah manusia paling utamasetelah Abu Bakar, Umar dan Utsman Radhiyallahu Anhum. Ali adalah orang keempat dalam keutamaan dan kekhalifahan dari umat Islam ini secara keseluruhan
· As-sunnan Al-Kubra
Kitab ini telah diterbitkan Darul Kutub Al-Ilmiah setelah ditahqiq Doktor Abdul Gaffar Sulaiman Al-Bundari dan Sayid Kasrawi Hasan. Penahqiq kitab berkata,” kitab As-sunan Al-Kubra ini memuat lebih daridua puluh kitab (judul pembahasan) yang tidak disebutkan dalam kitab Al-Mujtaba. Ketika kitab As-Sunan Al-Kubra dan Al-Mujtaba dikomparasikan, maka ada beberapa hal yang tidak disebutkan dalam Al-Mujtaba,tetapu disebutkan dalam As-Sunan Al-Kubra. Namun, hal ini tidak selamanya begitu, karena Imam An-Nasa’I telah mencantumkanbbeberapa ta’liq dan beberapa hadits dalam Al-Mujtaba yang tidak dicantumkan dalam kitab As-Sunan Al-Kubra. Yang memuat 5.671 hadits yang termasuk dalam Kutubu As-Sittah
· Al-Mujtaba
Kitab ini dalah karta Imam An-Nasa’I yang termashur. Sedang syarah kitab yang paling terkenal adalah syarah yang dilakukan Jalaluddin As-Suyuthi dengan Haisyiyah As-Sanadi cetakan Darul Kutub Al-Ilmiah
· Tafsir An-Nasa’i
Imam An-Nasa’I juga memiliki karya yang lain sebagaiman disebutkan Fu’ad Sazkin dalam tarikh At-Turats yang diantaranya adalah’ Ash-Dhu’afa wa Al-Matrukin, Tasmiyatu Fuqaha’ Al-Amshar min Ashabi Rasulillah wa Man Ba’dahu min Ahli Madinah, Tasmiyatu Man lam Yarwi’anhu illa Rajul Wahid,’Amal Al-Yaum wa Al-Laolah dan kitab Al-Jum’ah. Sebagian kitab ini telah di cetak dan beredar dimasyarakat. Wallahu A’lam
F. Syaratnya dalam Sunan Al-Kubra dan Al-Mujtaba
Abu Amr Ash-Shalah telah mngatakan dalam kitab Miqaddimahnya dari Abu Abdillah bin Mandah bahwasanya ia pernah mendengar Muhammad bin Sa’ad Al-Barudi di Mesir berkata, ‘ diantara madzhab Abu Abdirrahman An-Nasa’I adalah meriwayatkan haids dari perawi yang para ulama ahli hadits tidak sepakat meninggalkan hadits riwayatnya
Ayarat Abu Abdirrahman An-Nasa’I ini sebagaimana syarat yang telah ditetapakan Abu Dawud. Atas semua ini, Al-Iraqi telah mengisyaratkan dalam kitabnya
Madzhab An-Nasa’I meriwayatkan orang yang tidak sepakat
Para ulama meninggalkanya yang mana madzhab ini adalah madzhab yang agak longgar
Perkataan Al-Iraqi, madzhab Imam An-Nasa’I longgar” adalah tidak menghendaki ijma’ secara khusus. Hal ini berbeda dnegan pengertian Ibn Hajar bahwa’ madzhab Imam An-Nasa’i longgar” adalah menghendaki ijma’ secara khusus. Alas an Ibn Hajar adalah bahwa setiap kritikus perawi hadis dalam setiap thabaqahnya itu tidak lepas dari Mutasayaddid (keras atau ketat) dan Mutawassuth (moderat).
Termasuk thabaqah Mustasyaddid yang pertama adalah syu’bah ketat. Kedunay adalah yahya bin Said Al-Qaththan dan Ibnu Mahdi dengan criteria Ibnu Qathtahan lebih ketat. Ketiganya adalah yahya bun Ma’in dan Ahmad bin Hmabal dnegan criteria Ibn Main auh lebih ketat.
Iamam An-Nasa;I berkata, “dalam kitabku ini, aku akan meriwayatkan dari perawi hadits sepanjang para ulama ahli hadits tidak bersepakat untuk meninggalkanya
Contoh misalkan” apa bila seorang perawi menurut Ibn Mahdi tsiqah, sedang menurut Yahya bin Saud Al-Qaththan dhaif, maka perawi yang demikian ini tidak aku tinggalkan karena Yahya Al-Qaththan adalah kritukus yang mutasyaddid. Dengan demikian halnya, maka dalam hato seseorang dengan cepat akan mengatakan bahwa madzhab Imam An-Nasa’I adalah muttasa (cenderung longgar). Padahal, sebenarnya tidak demikian. Dalam kenyataanya dia tidak banyak meriwayatkan dari para perawi yng telah diriwayatkan oleh Abu Dawud dan At-Tirmidzi. Bahkan lebih dari itu, Imam An-Nasa’I juga tidak meriwayatkan hadits sebagai perawi shahihain
Ahmad bin Mahmud Ar-Ramli berkata,”aku telah mendengar Imam An-Nasa’I berkata, “kerika kau berniat hendak mengumpulkan hadits dalam kitabku ini, maka aku beristiharah terlebih dahulu unutk memohon petunjuk dari Allah SWT.dalam meriwayatkan beberapa hadits dari beberapa perawi. Hal itu aku tempauh karena pada perawi hadits tersebut dapat sesuatu mengganjal dalam hatiku. Padahal akhirnya, aku lebih memilih untuk tidak meriwayatkanya, padahal hadits tersebut sudah akau miliki dnegnas anad yang ‘ali”
Olehkarena itu An-Nasa’I dalam meriwayatkan Sunan An-Nasa;I lebih mendekati shahih daripada kitab-kitab hadits yang lain. Dan juga kitab kary Imam An-Nasa’I ini adalah kitab paling bagus dan paling teratur di antara kitab As-Sunan uang lian. Susunan dalam Sunan An-Nasa’I menggunakan metode penggabungan antara Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim ditambah banyak keterangan tentang illat hadits.
KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapat kami simpulkan
· Imam An-Nasa’I bukan saja dalam ahli hadis. Tapi, juga ahli fiqih dan juga ahli biografi sehingga mampu menulis tantang keagungan Ali bin Abi Thalib.
· Imam An-Nasa’I juga menulis kitab, diantara kitab yang agung adalah kitab Sunan An-Nasa’I yang merupakah revisi dari kitab sebelumya yaitu Al-Kubra yang isinya masih tercampur dengan hadis-hadis dhaif belum di seleksi, oleh sebabnya dengan Sunan An-Nasa’I telah terkumpul dengan hadits-hadits yang shahih.
· Dengan keagungan kitabnya, Imam An-Nasa’I di akui sebagai orang ulama hadits yang kompeten dan sanggat berhati-hati dalam memilah hadits. terbukti dari pengakuan para ulama dan murid-muridnya.
















DAFTAR PUSTAKA
60 biografi ulama salaf. Jakarta:pustaka Al-Kautsar,2006
Ensiklopedi Islam. Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
1996 Ash-Shiddieqi, TM. Hasbi. Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis. Jakarta: Bulan Bintang, 1981.
Yakub, Ali Mustafa. Kritik Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000

.

Rabu, 03 Desember 2008

Khilafah Bani Abbas (Masa Kemajuan Islam)

Khilafah Abbasiyah merupakan kelanjutan dari khilafah Umayyah, dimana pendiri dari khilafah ini adalah keturunan Al-Abbas, paman Nabi Muhammad SAW, yaitu Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas. Dimana pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dam budaya.

Kekuasaan dinasti Bani Abbas, atau khilafah Abbasiyah, sebagaimana disebutkan melanjutkan kekuasaan dinasti Bani Umayyah. Dinamakan khilafah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan al-Abbas paman Nabi Muhammad SAW. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abass. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) s.d. 656 H (1258 M). Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial dan budaya. Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik itu, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbas menjadi lima periode:

  1. Periode Pertama (132 H/750 M-232 H/847 M), disebut periode pengaruh Persia pertama.
  2. Periode Kedua (232 H/847 M-334 H/945 M), disebut pereode pengaruh Turki pertama.
  3. Periode Ketiga (334 H/945 M-447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Buwaih dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua.
  4. Periode Keempat (447 H/1055 M-590 H/l194 M), masa kekuasaan dinasti Bani Seljuk dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah; biasanya disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua.
  5. Periode Kelima (590 H/1194 M-656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Bagdad.

Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbas mencapai masa keemasannya. Secara politis, para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun setelah periode ini berakhir, pemerintahan Bani Abbas mulai menurun dalam bidang politik, meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan terus berkembang.

Masa pemerintahan Abu al-Abbas, pendiri dinasti ini sangat singkat, yaitu dari tahun 750-754 M. karena itu, pembina sebenarnya dari daulat Abbasiyah adalah Abu Ja'far al-Manshur (754-775 M). Dia dengan keras menghadapi lawan-lawannya dari Bani Umayyah, Khawarij, dan juga Syi'ah yang merasa dikucilkan dari kekusaan. Untuk mengamankan kekuasaannya, tokoh-tokoh besar yang mungkin menjadi saingan baginya satu per satu disingkirkannya. Abdullah bin Ali dan Shalih bin Ali, keduanya adalah pamannya sendiri yang ditunjuk sebagai gubernur oleh khalifah sebelumnya di Syria dan Mesir, karena tidak bersedia membaiatnya, dibunuh oleh Abu Muslim al-Khurasani atas perintah Abu Ja'far. Abu Muslim sendiri karena dikhawatirkan akan menjadi pesaing baginya, dihukum mati pada tahun 755 M.

Pada mulanya ibu kota negara adalah al-Hasyimiyah, dekat Kufah. Namun, untuk lebih memantapkan dan menjaga stabilitas negara yang baru berdiri itu, al-Mansyur memindahkan ibu kota negara ke kota yang baru dibangunnya, Bagdad, dekat bekas ibu kota Persia, Clesiphon, tahun 762 M. Dengan demikian, pusat pemerintahan dinasti Bani Abbas berada di tengah-tengah bangsa Persia. Di ibu kota yang baru ini al-Manshur melakukan konsolidasi dan Penertiban pemerintahannya. Dia mengangkat sejumlah personal untuk menduduki jabatan di lembaga eksekutif dan yudikatif. Di bidang pemerintahan, dia menciptakan tradisi baru dengan mengangkat Wazir sebagai koordinator departemen, Wazir pertama yang diangkat adalah Khalid bin Barmak, berasal dari Balkh, Persia. Dia juga membentuk lembaga protokol negara, sekretaris negara, dan kepolisian negara disamping membenahi angkatan bersenjata. Dia menunjuk Muhammad ibn Abdurrahman sebagai hakim pada lembaga kehakiman negara. Jawatan pos yang sudah ada sejak masa dinasti Bani Umayyah ditingkatkan perananya dengan tambahan tugas. Kalau dulu hanya sekedar untuk mengantar surat. Pada masa al-Manshur, jawatan pos ditugaskan untuk menghimpun seluruh informasi di daerah-daerah sehingga administrasi kenegaraan dapat berjalan lancar. Para direktur jawatan pos bertugas melaporkan tingkah laku gubernur setempat kepada khalifah.

Khalifah al-Manshur berusaha menaklukkan kembali daerah-daerah yang sebelumnya membebaskan diri dari pemerintah pusat, dan memantapkan keamanan di daerah perbatasan. Diantara usaha-usaha tersebut adalah merebut benteng-benteng di Asia, kota Malatia, wilayah Coppadocia dan Cicilia pada tahun 756-758 M. Ke utara bala tentaranya melintasi pegunungan Taurus dan mendekati selat Bosporus. Di pihak lain, dia berdamai dengan kaisar Constantine V dan selama genjatan senjata 758-765 M, Bizantium membayar upeti tahunan. Bala tentaranya juga berhadapan dengan pasukan Turki Khazar di Kaukasus, Daylami di laut Kaspia, Turki di bagian lain Oksus dan India.

Pada masa al-Manshur pengertian khalifah kembali berubah. Dia berkata, "Innama anii Sulthan Allah fi ardhihi (sesungguhnya saya adalah kekuasaan Tuhan di bumi-Nya)". Dengan demikian, konsep khilafah dalam pandangannya dan berlanjut ke generasi sesudahnya merupakan mandat dari Allah, bukan dari manusia, bukan pula sekedar pelanjut Nabi sebagaimana pada masa al- Khulafa' al-Rasyiduun. Disamping itu, berbeda dari daulat Umayyah, khalifah-khalifah Abbasiyah memakai "gelar tahta", seperti al-Manshur adalah "gelar tahta". Abu Ja'far. "gelar tahta" itu lebih populer daripada nama yang sebenarnya.

Kalau dasar-dasar pemerintahan daulat Abbasiyah diletakkan dan dibangun oleh Abu al-Abbas dan Abu Ja'far al-Manshur, maka puncak keemasan dari dinasti ini berada pada tujuh khalifah sesudahnya, yaitu al-Mahdi (775-785 M), al-Hadi (775- 786 M), Harun al-Rasyid (786-809 M), al-Ma'mun (813-833 M), al-Mu'tashim (833-842 M), al-Wasiq (842-847 M), dan al-Mutawakkil (847-861 M). Pada masa al-Mahdi perekonomian mulai meningkat dengan peningkatan di sektor pertanian melalui irigasi dan peningkatan hasil pertambangan seperti perak, emas, tembaga dan besi. Terkecuali itu dagang transit antara Timur dan Barat juga banyak membawa kekayaan. Bashrah menjadi pelabuhan yang penting.

Popularitas daulat Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun al-Rasyid (786-809 M) dan puteranya al-Ma'mun (813-833 M). Kekayaan yang banyak dimanfaatkan Harun al-Rasyid untuk keperluan sosial. Rumah sakit, lembaga pendidikan dokter, dan farmasi didirikan. Pada masanya sudah terdapat paling tidak sekitar 800 orang dokter. Disamping itu, pemandian-pemandian umum juga dibangun. Kesejahteraan, sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada zaman keemasannya. Pada masa inilah negara Islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi. Al-Ma'mun, pengganti al-Rasyid, dikenal sebagai khalifah yang sangat cinta kepada ilmu. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan buku-buku asing digalakkan. Untuk menerjemahkan buku-buku Yunani, ia menggaji penerjemah-penerjemah dari golongan Kristen dan penganut agama lain yang ahli. Ia juga banyak mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan Bait al-Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar. Pada masa Al-Ma'mun inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.

Al-Mu'tashim, khalifah berikutnya (833-842 M), memberi peluang besar kepada orang-orang Turki untuk masuk dalam pemerintahan, keterlibatan mereka dimulai sebagai tentara pengawal. Tidak seperti pada masa daulat Umayyah, dinasti Abbasiyah mengadakan perubahan sistem ketentaraan. Praktek orang-orang muslim mengikuti perang sudah terhenti. Tentara dibina secara khusus menjadi prajurit-prajurit profesional. Dengan demikian, kekuatan militer dinasti Bani Abbas menjadi sangat kuat.

Walaupun demikian, dalam periode ini banyak tantangan dan gerakan politik yang mengganggu stabilitas, baik dari kalangan Bani Abbas sendiri maupun dari luar. Gerakan-gerakan itu seperti gerakan sisa-sisa Bani Umayyah dan kalangan intern Bani Abbas, revolusi al-Khawarij di Afrika Utara, gerakan Zindik di Persia, gerakan Syi'ah, dan konflik antar bangsa dan aliran pemikiran keagamaan. Semuanya dapat dipadamkan.

Dari gambaran di atas Bani Abbasiyah pada periode pertama lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam daripada perluasan wilayah. Inilah perbedaan pokok antara Bani Abbas dan Bani Umayyah. Disamping itu, ada pula ciri-ciri menonjol dinasti Bani Abbas yang tak terdapat di zaman Bani Umayyah.

  1. Dengan berpindahnya ibu kota ke Baghdad, pemerintahan Bani Abbas menjadi jauh dari pengaruh Arab. Sedangkan dinasti Bani Umayyah sangat berorientasi kepada Arab. Dalam periode pertama dan ketiga pemerintahan Abbasiyah, pengaruh kebudayaan Persia sangat kuat, dan pada periode kedua dan keempat bangsa Turki sangat dominan dalam politik dan pemerintahan dinasti ini.
  2. Dalam penyelenggaraan negara, pada masa Bani Abbas ada jabatan wazir, yang membawahi kepala-kepala departemen. Jabatan ini tidak ada di dalam pemerintahan Bani Ummayah.
  3. Ketentaraan profesional baru terbentuk pada masa pemerintahan Bani Abbas. Sebelumnya, belum ada tentara khusus yang profesional.

Sebagaimana diuraikan di atas, puncak perkembangan kebudayaan dan pemikiran Islam terjadi pada masa pemerintahan Bani Abbas. Akan tetapi, tidak berarti seluruhnya berawal dari kreativitas penguasa Bani Abbas sendiri. Sebagian di antaranya sudah dimulai sejak awal kebangkitan Islam. Dalam bidang pendidikan, misalnya, di awal Islam, lembaga pendidikan sudah mulai berkembang. Ketika itu, lembaga pendidikan terdiri dari dua tingkat:

  1. Maktab/Kuttab dan masjid, yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal dasar-dasar bacaan, hitungan dan tulisan; dan tempat para remaja belajar dasar-dasar ilmu agama, seperti tafsir, hadits, fiqh dan bahasa.

  2. Tingkat pendalaman. Para pelajar yang ingin memperdalam ilmunya, pergi keluar daerah menuntut ilmu kepada seorang atau beberapa orang ahli dalam bidangnya masing-masing. Pada umumnya, ilmu yang dituntut adalah ilmu-ilmu agama. Pengajarannya berlangsung di masjid-masjid atau di rumah-rumah ulama bersangkutan. Bagi anak penguasa pendidikan bisa berlangsung di istana atau di rumah penguasa tersebut dengan memanggil ulama ahli ke sana.

Lembaga-lembaga ini kemudian berkembang pada masa pemerintahan Bani Abbas, dengan berdirinya perpustakaan dan akademi. Perpustakaan pada masa itu lebih merupakan sebuah universitas, karena di samping terdapat kitab-kitab, di sana orang juga dapat membaca, menulis dan berdiskusi.

Perkembangan lembaga pendidikan itu mencerminkan terjadinya perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan. Hal ini sangat ditentukan oleh perkembangan bahasa Arab, baik sebagai bahasa administrasi yang sudah berlaku sejak zaman Bani Umayyah, maupun sebagai bahasa ilmu pengetahuan. Disamping itu, kemajuan itu paling tidak, juga ditentukan oleh dua hal, yaitu:

  1. Terjadinya asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Pada masa pemerintahan Bani Abbas, bangsa-bangsa non Arab banyak yang masuk Islam. Asimilasi berlangsung secara efektif dan bernilai guna. Bangsa-bangsa itu memberi saham tertentu dalam perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam. Pengaruh Persia, sebagaimana sudah disebutkan, sangat kuat di bidang pemerintahan. Disamping itu, bangsa Persia banyak berjasa dalam perkembangan ilmu, filsafat dan sastra. Pengaruh India terlihat dalam bidang kedokteran, ilmu matematika dan astronomi. Sedangkan pengaruh Yunani masuk melalui terjemahan-terjemahan dalam banyak bidang ilmu, terutama filsafat.

  2. Gerakan terjemahan yang berlangsung dalam tiga fase. Fase pertama, pada masa khalifah al-Manshur hingga Harun al-Rasyid. Pada fase ini yang banyak diterjemahkan adalah karya-karya dalam bidang astronomi dan manthiq. Fase kedua berlangsung mulai masa khalifah al-Ma'mun hingga tahun 300 H. Buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat dan kedokteran. Fase ketiga berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan kertas. Bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas.

Pengaruh dari kebudayaan bangsa yang sudah maju tersebut, terutama melalui gerakan terjemahan, bukan saja membawa kemajuan di bidang ilmu pengetahuan umum, tetapi juga ilmu pengetahuan agama. Dalam bidang tafsir, sejak awal sudah dikenal dua metode, penafsiran pertama, tafsir bi al-ma'tsur, yaitu interpretasi tradisional dengan mengambil interpretasi dari Nabi dan para sahabat. Kedua, tafsir bi al-ra'yi, yaitu metode rasional yang lebih banyak bertumpu kepada pendapat dan pikiran daripada hadits dan pendapat sahabat. Kedua metode ini memang berkembang pada masa pemerintahan Bani Abbas. Akan tetapi jelas sekali bahwa tafsir dengan metode bi al-ra'yi, (tafsir rasional), sangat dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan. Hal yang sama juga terlihat dalam ilmu fiqh dan terutama dalam ilmu teologi. Perkembangan logika di kalangan umat Islam sangat mempengaruhi perkembangan dua bidang ilmu tersebut.

Imam-imam mazhab hukum yang empat hidup pada masa pemerintahan Abbasiyah pertama. Imam Abu Hanifah (700-767 M) dalam pendapat-pendapat hukumnya dipengaruhi oleh perkembangan yang terjadi di Kufah, kota yang berada di tengah-tengah kebudayaan Persia yang hidup kemasyarakatannya telah mencapai tingkat kemajuan yang lebih tinggi. Karena itu, mazhab ini lebih banyak menggunakan pemikiran rasional daripada hadits. Muridnya dan sekaligus pelanjutnya, Abu Yusuf, menjadi Qadhi al-Qudhat di zaman Harun al-Rasyid.

Berbeda dengan Abu Hanifah, Imam Malik (713-795 M) banyak menggunakan hadits dan tradisi masyarakat Madinah. Pendapat dua tokoh mazhab hukum itu ditengahi oleh Imam Syafi'i (767-820 M) dan Imam Ahmad ibn Hanbal (780-855 M).

Disamping empat pendiri mazhab besar tersebut, pada masa pemerintahan Bani Abbas banyak mujtahid mutlak lain yang mengeluarkan pendapatnya secara bebas dan mendirikan mazhab-nya pula. Akan tetapi, karena pengikutnya tidak berkembang, pemikiran dan mazhab itu hilang bersama berlalunya zaman.

Aliran-aliran teologi sudah ada pada masa Bani Umayyah, seperti Khawarij, Murjiah dan Mu'tazilah. Akan tetapi perkembangan pemikirannya masih terbatas. Teologi rasjonal Mu'tazilah muncul di ujung pemerintahan Bani Umayyah. Namun, pemikiran-pemikirannya yang lebih kompleks dan sempurna baru dirumuskan pada masa pemerintahan Bani Abbas periode pertama, setelah terjadi kontak dengan pemikiran Yunani yang membawa pemikiran rasional dalam Islam. Tokoh perumus pemikiran Mu'tazilah yang terbesar adalah Abu al-Huzail al-Allaf (135-235 H/752-849M) dan al-Nazzam (185-221 H/801-835M). Asy'ariyah, aliran tradisional di bidang teologi yang dicetuskan oleh Abu al-Hasan al-Asy'ari (873-935 M) yang lahir pada masa Bani Abbas ini juga banyak sekali terpengaruh oleh logika Yunani. Ini terjadi, karena al-Asy'ari sebelumnya adalah pengikut Mu'tazilah. Hal yang sama berlaku pula dalam bidang sastra. Penulisan hadits, juga berkembang pesat pada masa Bani Abbas. Hal itu mungkin terutama disebabkan oleh tersedianya fasilitas dan transportasi, sehingga memudahkan para pencari dan penulis hadits bekerja.

Pengaruh gerakan terjemahan terlihat dalam perkembangan ilmu pengetahuan umum, terutama di bidang astronomi, kedokteran, filsafat, kimia dan sejarah. Dalam lapangan astronomi terkenal nama al-Fazari sebagai astronom Islam yang pertama kali menyusun astrolobe. Al-Fargani, yang dikenal di Eropa dengan nama Al- Faragnus, menulis ringkasan ilmu astronomi yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Gerard Cremona dan Johannes Hispalensis. Dalam lapangan kedokteran dikenal nama al-Razi dan Ibn Sina. Al-Razi adalah tokoh pertama yang membedakan antara penyakit cacar dengan measles. Dia juga orang pertama yang menyusun buku mengenai kedokteran anak. Sesudahnya, ilmu kedokteraan berada di tangan Ibn Sina. Ibn Sina yang juga seorang filosof berhasil menemukan sistem peredaran darah pada manusia. Diantara karyanya adalah al-Qoonuun fi al-Thibb yang merupakan ensiklopedi kedokteran paling besar dalam sejarah.

Dalam bidang optikal Abu Ali al-Hasan ibn al-Haythami, yang di Eropa dikenal dengan nama Alhazen, terkenal sebagai orang yang menentang pendapat bahwa mata mengirim cahaya ke benda yang dilihat. Menurut teorinya yang kemudian terbukti kebenarannya bendalah yang mengirim cahaya ke mata. Di bidang kimia, terkenal nama Jabir ibn Hayyan. Dia berpendapat bahwa logam seperti timah, besi dan tembaga dapat diubah menjadi emas atau perak dengan mencampurkan suatu zat tertentu. Di bidang matematika terkenal nama Muhammad ibn Musa al-Khawarizmi, yang juga mahir dalam bidang astronomi. Dialah yang menciptakan ilmu aljabar. Kata "aljabar" berasal dari judul bukunya, al-Jabr wa al-Muqoibalah. Dalam bidang sejarah terkenal nama al-Mas'udi. Dia juga ahli dalam ilmu geografi. Diantara karyanya adalah Muuruj al-Zahab wa Ma'aadzin al-Jawahir.

Tokoh-tokoh terkenal dalam bidang filsafat, antara lain al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rusyd. Al-Farabi banyak menulis buku tentang filsafat, logika, jiwa, kenegaraan, etika dan interpretasi terhadap filsafat Aristoteles. Ibn Sina juga banyak mengarang buku tentang filsafat. Yang terkenal diantaranya ialah al-Syifa'. Ibn Rusyd yang di Barat lebih dikenal dengan nama Averroes, banyak berpengaruh di Barat dalam bidang filsafat, sehingga di sana terdapat aliran yang disebut dengan Averroisme.

Demikianlah kemajuan politik dan kebudayaan yang pernah dicapai oleh pemerintahan Islam pada masa klasik, kemajuan yang tidak ada tandingannya di kala itu. Pada masa ini, kemajuan politik berjalan seiring dengan kemajuan peradaban dan kebudayaan, sehingga Islam mencapai masa keemasan, kejayaan dan kegemilangan. Masa keemasan ini mencapai puncaknya terutama pada masa kekuasaan Bani Abbas periode pertama. Namun sayang, setelah periode ini berakhir, Islam mengalami masa kemunduran.