Kamis, 28 Mei 2009

Upaya Kelanjutan Nusa Dua Bali

Upaya Kelanjutan Nusa Dua Bali
Lebih dari satu abad seruan Svante Arrhennius, seorang ilmuan Swedia, pada tahun 1894. mengemukakan bahwa CO2 adalah unsur terpenting yang mampu mengontrol atmosfer. Namun emisi CO2 kian hari kian bertambah yang dihasilkan dari bahan bakar fosil diantaranya batubara dan minyak. Efak yang dihasilan dari emisi CO2 membentuk rumah kaca di atmosfor dan memerangkap radiasi panas bumi
Pertama kalinya pula Indonesia pernah menjadi tuan rumah event yang bertajuk "United Nationals Climate Change 2007" yang diadakan pada 3-14 Desember 2007, di Nusa Dua Bali, dengan agenda 800 sesi sidang. Indonesi sebagai tuan rumah Conference of Parties (Cop) yang mengacu kepada kinerja PBB tentang perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change) yang didukung oleh 190 negara dan telah melakukan sidang selama 13 kali.
Hingga pada akhir keputusan sidang ternyata sulit diambil kesepakatan, upaya yang di tempuh pada saat itu akhirnya presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) turun tangan. Setelah negosiasi akhirnya bisa diambil jalan tengahnya, yang intinya masing-masing Negara di masa mendatang dapat mereduksi emisi karbon hingga 5,2%. Menurut Flannery ilmuan Australia penuruan 70% terhadap kemungkinan jumlah penambahan karbon hingga 2050.
Memang masalah ini bukan saja dibebankan kepada pemaku kebijanka untuk mereduksi emisi secara drastis, ini sama halnya menurunkan perekonomian secara global, yang akan dirasakan masyarakan hidup semakin tidak nyaman. Namun disisi lain masalah ini tidak bisa dibiarkan begitu saja tanpa ada penanganan yang serius. Termasuk Indonesia yang tidak terbebani pengurangan emisi karbon. Meskipun tidak terbebani, laju kehidupan terus berjalan seiring perkembangan jaman dan kebutuhan ekonomi yang makin tinggi. Disini upaya pemerintah dituntut untuk memikirkan dampak yang terjadi saat ini maupun yang akan datang. Diperkirakan di akhir abad ini Indonesia kehilangan 2.000 pulau.
Hinga kini, tampaknya tidak ada upaya yang konkrit untuk menerapkan kebijakan yang telah dihasilkan pada persidangan, meskipun ditekankan pada Negara-Negara Indusri (Negara maju) pengurangan karbon. lalu apa yang akan di jalankan Indonesia sebagai Negara berkembang untuk tahun-tahun sekarang dan tahun berikutnya oleh pemimpin yang akan menjadi presiden. Kerusakan alam adalah proses yang lama mencapai 50-100 tahun, lalu bagaiman upaya untuk melestarikan lingkungan tanpa menurunkan reproduksi perekonomin. Hal ini menjadi tantangan yang sanggat berat.
Indonesi memiliki sumber daya alam yang sanggat luas, namun hal tersebut belum dapat kita gunakan menginggat tenaga ahli yang kurang memadai. Bayangkan saja Indonesia Negara maritim, memiliki garis pantai terpanjang di dunia peringkat ke empat (sekitar 95.181 km) dan pada umumnya Kondisi pesisir pantai ini relative terbuak luas. Apabila lahan tersebut digunakan dengan baik diantaranya dapat ditamami buah jarak, kelapa, randu, cemara laut dan tumbuhan-tumbuhan lainya yang mungkin dapat tumbuh disepanjang pesisir. Hal ini bisa dilakukan melalui penelitian taman, bisa berkerjasama dengan LSM maupun Universitas. Penghijuan tersebut selain dapat di konsumsi dapat pula mengurangi enegri tsunami.
Upaya yang dilakukan tersebut adalah semata-mata untuk mensejahterakan masyrakat, baik keamanan, kesejahteraan, sandang dan pangan serta untuk kelangsungan hidup anak cucu. Pemerintah untuk mewujudkan niat yang baik pasti akan di dukung oleh masyarakat, dengan cara mengajak, mensosialisasikan, memperluas sayap risetnya (perguruan tinggi) bersatu padu berbagai elemen masyarakta (pengusaha). Sehingga dari hasil penanaman tersebut dapat di fungsikan, serta dijadikan lahan perekonomian secara baik.

Tidak ada komentar: